MASA DEPAN TENAGA KERJA KONTRAK DI PERTAMINA SANGAT MEMPERIHATINKAN

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Seperti diketahui bahwa pembangunan ketenagakerjaan adalah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.

Oleh sebab itu Pemerintah Republik Indonesia merasa perlu untuk menerbitkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 dan ini membuktikan bahwa Pemerintah sangat peduli dengan nasib dan kesejahteraan para tenaga kerja di negara yang katanya sangat taat hukum, patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sangat menjunjung tinggi harkat serta martabat manusia Indonesia berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila.

Tegasnya, pembangunan ketenagakerjaan telah diatur sedemikian rupa agar terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pembangunan dunia usaha.

Namun sangat disayangkan bahwa sejak tahun 2003 sampai saat ini, masih saja ada oknum pejabat terkait termasuk perusahaan jasa tenaga kerja (labour contractor) di lingkungan Pertamina terkesan tidak mengakui keberadaan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (masalah pesangon), dan Kepmen Nakertrans No.220 tahun 2004 tentang Pengelolaan Tenaga Kerja kepada Pihak Lain. Akibatnya, hak-hak tenaga kerja kontrak dan masa depan lebih dari seribu orang jadi sangat memprihatinkan.

Kesuraman masa depan tenaga kerja kontrak yang dikenal sebagai Pekarya di lingkungan Pertamina EP, baik yang bekerja di PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara maupun di PT Pertamina EP Field Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Field lainnya juga termasuk di JOB P-Costa, DOK PB/PS, Pertamina Gas dan jajaran lainnya sungguh sangat memprihatinkan. Keberadaan masa depan mereka terkesan diabaikan oleh para pihak terkait. Padahal mereka juga ikut “banting tulang” agar Pertamina tetap eksis di Sumatera Utara.

Diakui ataupun tidak diakui, peningkatan produksi minyak mentah di Area Pangkalan Susu sejak pertengahan tahun 2003 sampai akhir tahun 2005 cukup signifikan khususnya sejak Mei 2005 produksinya rata – rata berada di atas 100% dari target/sasaran yang ditentukan Direksi, adalah merupakan kerjasama secara terpadu antara pegawai Pertamina dengan tenaga kerja kontrak.

Sebagai gambaran dapat dijelaskan, bahwa karena keterbatasan tenaga, maka sebagian besar pekerjaan di lingkungan Pertamina EP yang seharusnya dikerjakan oleh pegawai Pertamina “terpaksa” dilaksanakan oleh pekarya. Pertanyaannya, apakah mereka mampu ? Jelas mampu ! Sebab para pekarya tersebut sudah memiliki skill untuk jenis pekerjaan yang dikerjakannya bertahun-tahun lamanya, dan hasil karya para pekarya itu juga tidak pernah menimbulkan permasalahan ketika diaudit oleh pihak yang berkompeten. Ini fakta ! Susu punya lembu, Benggali punya nama. Begitulah istilah orang Medan.

Oleh sebab itu sudah sepantasnya para tenaga kerja kontrak yang disalurkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (Labour supply) untuk melaksanakan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core business) diangkat menjadi pegawai Pertamina EP oleh sipemberi pekerjaan.

Hal ini disampaikan atas dasar rujukan Pasal 66 ayat (1) berikut penjelasannya yang selengkapnya berbunyi sbb.: ” Pekerja/buruh ( Pekarya, pen.) dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan proses produksi.”

Di dalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) disebutkan : Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT/PWT, pen) dan/atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/PWTT, pen).

Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.

Kegiatan tersebut antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

Berdasarkan UU No.13 tahun 2003 disebutkan, apa bila Pasal 66 ayat (1), ayat (2) dan (3) tidak terpenuhi, maka, demi hukum, status hubungan kerja antara pekerja/buruh (Pekarya, pen.) dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekarya dan Pertamina. Pasal 66 ayat (4) plus Pasal 65 ayat (2) dan ayat (8) UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka ikatan kerja Tenaga Kerja Kontrak (Pekarya.pen.) di Fungsi Produksi sudah harus diganti statusnya sesuai Undang-undang yang berlaku, karena mereka bekerja berhubungan langsung dengan produksi migas (core business), misalnya di SP/SK, Test Unit dan Block Station. Apakah hal ini berlaku di lingkungan PT Pertamina EP ?

Pekarya tidak pernah menikmati uang Pesangon

Menurut hasil pengamatan dan pengalaman yang penulis alami sendiri dapat diketahui bahwa para tenaga kerja kontrak, atau di lingkungan Pertamina EP disebut Pekarya, bila ter-PHK tidak pernah menerima uang pesangon dari kontraktor ketika terjadi PHK. Padahal peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya. Ini memang aneh dan tidak berprikemanusiaan bila dipandang dari sisi Hak Azasi Manusia (HAM) serta bila ditinjau dari sisi Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “ Pesangon Gate ” di kalangan kontraktor penyedia jasa tenaga kerja di lingkungan Pertamina jelas merupakan suatu pelanggaran.

Bagi mereka yang melawan hukum sudah ada sanksi yang diatur oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No.13 Tahun 2003 bahwa mereka dapat dikenakan sanksi Pasal 184 ayat (1), yaitu “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Apa isi dari Pasal 167 ayat (5) dimaksud ? Isinya menyebutkan : “ Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena usia pensiun pada program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” Akan tetapi sayangnya hal ini tidak pernah digubris oleh pihak kontraktor penyedia jasa tenaga kerja.

Dengan alasan klasik, mereka (kontraktor) menyebutkan bahwa masalah pesangon tidak diatur dalam kontrak atau RKS. Sekali lagi, ini memang benar-benar aneh bin ajaib. Siapakah sebenarnya yang membuat kontrak jasa tenaga kerja ? Pihak Rekanan atau Pertamina ?

Namun apapun alasannya, yang jelas korban PHK usia pensiun tanpa menerima pesangon terus berjatuhan. Hal ini hendaknya perlu menjadi perhatian buat Tim Manajemen Pertamina, khususnya bagi Fungsi terkait, karena masalah pesangon sudah diatur dengan baik dalam Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menyikapi hal tersebut di atas, jadi timbul tanda tanya besar di benak penulis, kenapa pihak Manajemen khususnya Fungsi SDM terkesan tidak konsekuen dalam menerapkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ? Di satu sisi, UU No.13/2003 dijadikan acuan, tapi di sisi lainnya terkesan diabaikan. Contohnya mengenai pesangon untuk pekarya seperti yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1), dan ayat (2) butir a. dan b. tidak pernah mereka nikmati ketika terjadi PHK alami.

Perlu penulis ingatkan kembali bahwa berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 telah ditetapkan, apa bila seorang tenaga kerja di-PHK, maka yang bersangkutan berhak menerima Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 167 ayat (5) dari UU No.13/2003, dan ini berlaku bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia, kecuali tenaga kerja yang diikutsertakan dalam program pensiun.

Pesangon Pekarya Tanggungjawab Siapa ?

Pertanyaan ini yang harus dijawab oleh pihak Pertamina. Sebab ketika ditanyakan kepada salah seorang rekanan/pengusaha jasa tenaga kerja, diperoleh jawaban : Bagaimana kami harus membayar pesangon sesuai Undang-undang yang berlaku karena tidak tercantum di dalam kontrak bahwa pesangon itu tanggungjawab kami ?

Dari penjelasan di atas sudah tersirat bahwa sebagian besar kontraktor Labour Supply (penyedia tenaga kerja) tidak memahami UU No.13 Tahun 2003 khususnya Pasal 66 ayat (2) butir c. yang secara tegas menyebutkan “ Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan butir d. “ Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.” Apakah hal ini sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku ? Tegasnya, BELUM !

Permasalahan akan jadi lebih rumit lagi ketika PHK harus dilakukan kepada tenaga kerja kontrak yang telah berusia 55 tahun (sekarang diberlakukan batas usia 56 pensiun), tidak ada satupun rekanan jasa tenaga kerja yang bersedia untuk bertanggungjawab atas pesangon pekarya yang sudah mengabdikan dirinya di PT Pertamina EP lebih dari 5 (lima) tahun untuk pekerjaan yang sama secara terus menerus. Sedang perusahaan jasa tenaga kerja terus berganti setiap satu tahun.

Tegasnya, ketika terjadinya gonta-ganti perusahaan jasa tenaga kerja, jangankan pesangon tabel besar, tabel kecil saja tidak pernah dinikmati oleh para tenaga kerja kontrak (Pekarya) yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja untuk dipekerjakan/diperbantukan di lingkungan PT Pertamina EP.

Menyangkut dengan masalah pesangon, para Pekarya boleh iri dengan tenaga kerja yang dipekerjakan di TKPP (security), YKPP dan PWP, karena ketika terjadi PHK, mereka dapat pesangon yang lumayan jumlahnya.

Ada dugaan dari sementara kalangan bahwa pihak pembuat/perumus kontrak jasa tenaga kerja di PT Pertamina EP, sengaja membuat masa kontrak hanya berjangka satu tahun adalah untuk menghindari pembayaran pesangon ketika masa kontrak berakhir. Kalau memang benar begitu adanya, itu pemikiran ngaur ! Jangankan satu tahun, satu kali terima gaji lantas ter-PHK bukan atas kesalahan sipekerja, sipemakai jasa tenaga kerja tersebut wajib membayar pesangon sesuai Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) butir a. dan b. dari UU No.13 Tahun 2003.

Contoh kasus, pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di non perusahaan (rumah pribadi orang awam) yang tidak terikat dengan UU No.13 Tahun 2003, ketika PRT tersebut berhenti bekerja pasti menerima pesangon dari majikannya. Sedangkan yang terikat dengan UU No.13 Tahun 2003 tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana ini ? Mohon perhatian serius dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Menimbang beberapa hal di atas, maka isi kandungan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) serta Pasal 156 dan Pasal 167 ayat (5) dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 sudah harus diagendakan sejak saat ini sehingga realisasinya dapat terwujud di lingkungan Pertamina.

Selain itu, hendaknya pihak PT Pertamina EP maupun perusahaan penyedia jasa tenaga kerja harus mematuhi secara utuh isi yang terkandung di dalam Kepmen Nakertrans No.220 tahun 2004 tentang Pengelolaan Tenaga Kerja kepada Pihak Lain Pasal 5 yaitu “ Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib membuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak – hak pekerja / buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Dan Pasal 6 ayat (2) butir a. “Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.” serta butir c. “Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan.”

Kesimpangsiuran pemahaman mengenai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya sudah jelas terbaca dari beberapa ulasan di atas. Ketika tenaga kerja yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja masuk usia pensiun, lantas diPHK. Katanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu yang terpateri kuat dalam benak mereka. Pesangon ? No way !!! Karena tidak diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 (?).

Hal tersebut dapat penulis buktikan, karena penulis adalah mantan pekarya yang dipekerjakan di Fungsi Layanan Operasi ( sebagai staf Humas bidang Media/Pers ) PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu yang ketika berhenti kerja pada akhir Desember 2009 tidak memperoleh uang pesangon dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) butir b. Jangankan pesangon, setelah setahun berhenti kerja karena batas usia pensiun, penulis belum memperoleh surat pemberhentian dari PT Daya Bumita (perusahaan tempat penulis bernaung). Ketika penulis ribut, akhirnya pada tanggal 23 November 2010 penulis menerima surat dimaksud dengan tanggal mundur (1 Januari 2010). Pada hal surat tersebut sangat penulis perlukan untuk mengurus klaim JHT Jamsostek.

Kejadian itu terkesan bahwa penulis telah dipersulit oleh pimpinan PT Daya Bumita untuk mengklaim JTH Jamsostek. Ini terbukti bahwa sudah 3 (tiga) kali penulis mondar-mandir dari Pangkalan Susu ke PT Jamsostek Cabang Binjai tanpa hasil karena persyaratan pendukungnya belum lengkap kata petugas Jamsostek di Binjai.

Menurut petugas Jamsostek, masih ada satu surat lagi yang diperlukan yaitu, Daftar Tenaga Kerja Keluar (Formulir Jamsostek 1b) yang menurut Posman (petugas Jamsostek cabang Binjai) setiap perusahaan penyedia jasa tenaga kerja telah diberikan formulir dimaksud. Tetapi kenapa pihak PT Daya Bumita tidak membuat laporan kepada pihak Jamsostek dengan mempergunakan formulir 1b tersebut ?

Bila pihak Kontraktor Jasa Tenaga Kerja maupun pihak Jamsostek mau bertindak jujur, ketika seorang pekerja/buruh pertama kali mengurus pengklaiman untuk mencairkan JHT, seharusnya pihak Jamsostek memberitahukan kepada peserta JHT Jamsostek mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja dimaksud.

Itu sudah dilakukan oleh pihak Jamsostek ! Benar. Tetapi kurang jelas dan tidak lengkap. Kenapa penulis katakan demikian ? Berdasarkan pengalaman yang penulis alami sendiri, memang benar pihak Jamsostek telah memberikan daftar persyaratan pengambilan JHT yang harus dipenuhi yaitu :

1. Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) Asli.
2. Foto copy KTP/SIM yang masih berlaku.
3. Foto copy Kartu Keluarga (KK).
4. Foto copy Surat Keterangan Berhenti dari Perusahaan (SK PHK).

Catatan : * Semua persyaratan harus dibawa yang ASLI nya.
* Alamat KTP/SIM dan Kartu Keluarga harus sama.

Semua persyaratan sudah penulis penuhi, tetapi ketika akan dilakukan pengklaiman JHT tersebut, penulis gagal untuk mencairkannya.

Menurut Posman (petugas Jamsostek), masih ada satu surat lagi yang diperlukan yaitu, Daftar Tenaga Kerja Keluar (Formulir Jamsostek 1b) dari pihak perusahaan jasa tenaga kerja yang ditujukan kepada pihak Jamsostek. Kejadian ini telah membuat penulis kesal dan kecewa berat. Kalau memang ini diperlukan, kenapa tidak dijelaskan dalam daftar persyaratan seperti tersebut di atas.

Padahal setiap perusahaan penyedia jasa tenaga kerja telah diberikan formulir dimaksud oleh pihak Jamsostek. Tetapi kenapa pihak PT Daya Bumita tidak membuat laporan kepada pihak Jamsostek dengan mempergunakan formulir 1b tersebut ? Sampai hari ini (02 Maret 2011) penulis belum dapat mengklaim JHT ke PT Jamsostek (Persero) Cabang Binjai.

Pertanyaan lainnya, kenapa pihak PT Pertamina EP bisa memberi pekerjaan jasa tenaga kerja kepada perusahaan yang tidak mengerti mengenai peraturan Jamsostek dan UU No.13 Tahun 2003 serta Kepmen Nakertrans No.220 Tahun 2004 ? Kalau dibilang mengerti, kenapa mereka mau menerima pekerjaan yang tidak ada untungnya ? Ada apa ini ?

Apakah para pihak terkait memang sengaja ingin membodoh-bodohi atau menipu tenaga kerjanya yang buta dengan peraturan Jamsostek dan UU ketenagakerjaan sehingga para tenaga kerja kontrak (pekarya) di lingkungan Pertamina EP telah dirugikan jutaan rupiah karena para pihak terkait tidak mematuhi UU No.13/2003 Pasal 156 ayat (2) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Permasalahannya

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan kontraktor penyedia jasa tenaga kerja BELUM SIAP menjadi perusahaan penyedia jasa tenaga kerja semurninya. Sedangkan pihak Pertamina juga terkesan menyepelekan atau setengahhati dalam menerapkan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. Kenapa penulis katakan demikian ? Dengan mudah dan gampangnya rekanan Pertamina dimaksudkan menerima pekerjaan penyediaan jasa tenaga kerja yang ditawarkan oleh pihak Pertamina yang “telah menjebak” pengusaha kontraktor terkait.

Yang terbayang di benak kontraktor hanya omset sekian miliar, keuntungan sekitar 8-10 persen. Wah lumayan. Padahal mereka tidak menyadari bahwa “bom waktu” setiap saat bisa meledak bila tiba saatnya para tenaga kerjanya menggugat masalah pesangon yang tidak dianggarkan oleh Pertamina di dalam kontrak jasa tenaga kerja. Siapa yang akal-mengakali atau merekayasa kontrak tersebut lengkap dengan RKSnya ?

Kembali muncul pertanyaan, bagaimana mereka (perusahaan penyedia jasa tenaga kerja) harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut dengan masalah Pesangon yang tidak diatur dalam kontrak oleh pihak pemberi pekerjaan (Pertamina) ?

Menurut pengakuan salah seorang rekanan penyedia jasa tenaga kerja kepada penulis beberapa hari lalu, masalah pesangon untuk pekarya tidak dianggarkan oleh Pertamina termasuk tidak diatur dalam RKS, dan mereka juga hanya diberi keuntungan yang relatif kecil. Jadi bagaimana mereka harus memberi pesangon kepada setiap pekerjanya yang diperbantukan di PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu. Sementara jumlah pekerjanya mencapai angka di atas 100 orang. Katakanlah 100 orang setiap berakhir masa kontrak harus diberikan pesangon sesuai UU No.13/2003, misalnya perorang menerima pesangon sebesar Rp 3 juta (Rp 1,5 jt x 2) x 100 = Rp 300 juta. Uangnya dari mana ? Keuntungan !? “Tanya sendiri kepada Pertamina, berapa keuntungan yang mereka berikan kepada kami,” kata salah seorang rekanan penyedia jasa tenaga kerja kontrak di lingkungan PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu kepada penulis.

Misalnya, untuk kontrak sebanyak 125 tenaga kerja nilainya sekitar Rp7 milyar, dan Pertamina memberi keuntungan sebesar 8%. Artinya, dari kontrak tersebut pengusaha memperoleh keuntungan sebesar Rp560 juta. Sedangkan untuk membayar pesangon kepada tenaga kerjanya sekitar Rp375 juta (rata-rata upah pokok pekerjanya Rp1,5 x 2 bln = Rp3 juta x 125 org). Jadi sisa keuntungan masih ada sebesar Rp185 juta. Ini memang cukup aneh bila pekerjanya tidak dapat pesangon bila masa kontrak berakhir !

Bila kita mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka alasan tersebut tidak dapat diterima. Sebab kalau mereka memang benar-benar sudah siap menjadi perusahaan penyedia jasa tenaga kerja kontrak, semua resiko menjadi tanggungjawab perusahaan bersangkutan seperti yang diatur dalam Kepmen Nakertrans No.220/2004 Pasal 5 “Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib membuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Dan UU No.13 Tahun 2003 Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) butir c. Yang isinya antara lain menyebutkan; Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, yaitu untuk masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun menerima pesangon sebesar 2 (dua) bulan upah. Ini tetap harus diberlakukan ! Jangan hanya pandai mengatakan paham dan sangat mengerti mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan, tetapi pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan sesuai peruntukkannya. Ini namanya Munafik !

Di dalam negera yang menjunjung tinggi Hukum, HAM dan Demokrasi, kenapa masih ada pihak-pihak tertentu yang tidak mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia ?

Kalau Pertamina dan Rekanan penyedia tenaga kerja dapat mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana mestinya mengenai ketenagakerjaan, pasti tidak akan timbul semacam gugatan dari para tenaga kerja kontrak di lingkungan PT Pertamina EP, seperti yang pernah terjadi di PT Pertamina EP Field Rantau.

Pada kesempatan ini perlu penulis mengingatkan kembali bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya untuk kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Itu pasti !

Jadi apapun ceritanya, para tenaga kerja kontrak di lingkungan Pertamina yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja, wajib menerima pesangon sesuai yang ditetapkan dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam UU No.13 Tahun 2003 tercatat 2 (dua) pasal yang menetapkan tentang pesangon, yaitu Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 167 ayat (5). Jadi, tidak ada kata kompromi untuk pesangon. Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja wajib membayar pesangon ketika tenaga kerja dimaksud berhenti dari perusahaan penyedia tenaga kerja.

Tegasnya, setiap tenaga kerja kontrak (pekarya) yang telah di PHK oleh perusahaan jasa tenaga kerja wajib menerima Pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf b. Tetapi tidak wajib menerima uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), karena sistem kontrak yang diberlakukan oleh pihak Pertamina EP hanya berjangka 1 (satu) tahun.

Nah, bagaimana kalau perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak memenuhi ketentuan dimaksud ? Ada sanksi yang dikenakan kepada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 Pasal 167 ayat (5). Perusahaan tersebut dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1), yaitu “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 500 juta.” Sebab tindakan perusahaan tersebut adalah tindak pidana kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (2), “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

Lantas timbul pertanyaan lagi, apakah setelah perusahaan dikenakan sanksi Pasal 184 ayat (1) lantas bebas dari kewajibannya membayar pesangon sebagai diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ? TIDAK ! Perusahaan tersebut tetap wajib membayar pesangon pekerjanya seperti yang diatur dalam Pasal 189 “ Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.”

Padahal di dalam Pasal 35 khususnya ayat (3) menyebutkan “pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”

Kenyataan yang terjadi di lapangan tidak demikian. Para pihak (pemberi pekerjaan dan penyedia tenaga kerja) tidak mematuhi ketentuan tersebut di atas. Buktinya yang menyangkut dengan masalah Pesangon.

Oleh sebab itu hendaknya para pengusaha, dan atau perusahaan penyedia jasa tenaga kerja jangan menyepelekan atau tidak mematuhi UU No.13 Tahun 2003. Memang harus diakui bahwa selama ini kasus tersebut tidak pernah diungkit atau dipermasalah atas pertimbangan berbagai hal. Akan tetapi kini sudah berbeda dan berubah seperti Pertamina yang dulu hanya berkelas “nasional” kini bercita-cita ingin menjadi “world class company.”

Yang jadi permasalahan saat ini yaitu, apakah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak terpantau oleh pihak para pihak terkait (Pertamina dan Disnakertrans) ?

Seharusnya, pihak Pertamina selaku pemberi pekerjaan, dan Dinas Ketenagakerjaan & Transmigrasi yang paling bertanggungjawab harus memantau secara berkala mengenai sistem pelaksanaan tenaga kerja kontrak di lingkungan Pertamina sudah benar atau tidak.

Semoga tulisan ini dapat menggugah hati nurani para pihak terkait untuk mematuhi UU No.13 Tahun 2003, khusus bagi mereka yang telah mengikuti training ESQ dari ESQ Leadership Center Jakarta beberapa tahun lalu.

Pangkalan Susu, 07 Maret 2011

Note :
Penulis adalah pemerhati masalah ketenagakerjaan.